mind self

Tempat Pulang


image

Sudah lewat tiga tahun setelah aku meninggalkan rumah ini. Rumah yang aku kunjungi setahun sekali, atau kadang dua-tiga kali, untuk bertemu denganmu. Aku masih ingat saat aku mewarnai dindingnya dengan warna kesukaanmu, merah. Semerah jaket yang biasa kau kenakan di musim hujan yang dingin, atau di hari-hari biasa saat kita berpapasan di kantin. Basah kuyup kepala kita sudah mendinginkan pikiran masing-masing, bukan? Sekaligus membuat tanganku gemetar kedinginan, juga hatiku yang berdenyut acak melihatmu. Aku juga masih ingat pernah menaruh beberapa hiasan dinding matahari dan karpet kuning, meski bukan warna kesukaan kita. Hari-hariku yang terasa cerah, mungkin, karena ada kamu yang mengisinya.

Aku temukan retak di sepanjang dinding. Retakan lama, yang tidak sanggup aku perbaiki. Tipis, memanjang, dan berlubang dalam. Ada bekas tambalan di sekitarnya, tapi rekah lagi, terlalu lemah untuk dilapisi, dindingku retak lagi.

Aku teringat pepatah yang kudengar dari banyak orang, “Dia tidak pernah pergi jauh. Dia akan selalu kembali. Jika dia tak kembali, mungkin kamu tak lagi menjadi tempatnya pulang.

Hari ini, aku ingin membenarkan pepatah itu.

Aku tidak ingin pulang lagi ke rumah ini. Aku tidak ingin lagi kembali ke sini. Kau tahu kenapa? Karena setiap kali aku membuka pintu, yang kudapati hanya ruang kosong. Tidak ada siapa-siapa yang menyambutku pulang. Kalaupun aku diam dan menunggu di dalam, aku tidak tahu kapan kau akan benar-benar datang.

Beri aku alasan, kenapa aku harus menunggumu pulang setahun sekali jika aku bisa menemukan rumah yang menyambutku setiap hari? Beri aku alasan, setidaknya untuk mempertahankan rumah ini tetap berdiri.

Tapi kau bahkan tidak bisa menjawabnya, bukan?

Surat yang aku titipkan di bawah pintu tidak juga kau buka isinya.
Padahal sudah kutuliskan serpih-serpih kerinduan yang tercecer di sepanjang perjalananku yang sendirian.

Aku dapati jejak-jejak sepatumu masih berbekas di teras rumah ini, juga serpihan mimpi-mimpimu yang berhamburan di lantai setelah kau terbangun, entah kapan kau mampir. Tapi aku sudah terlalu kering untuk menyadarinya. Kita tidak bisa lagi menyelamatkan rumah ini, atau mungkin aku yang tidak bisa lagi berada di sini.

Izinkan aku pamit hari ini.

Aku akan menitipkan kunci di teras rumah, kapanpun kau datang lagi. Kali ini aku berniat untuk tidak kembali lagi. Aku sudah menemukan rumah baru untuk pulang, yang walaupun tidak sebesar rumahmu, tapi selalu bisa menyambut setiap aku datang.

Terima kasih.

Kelak saat kau membaca ini di balik pintu rumah, kau tahu aku sudah pergi dan tidak akan pernah pulang lagi.

_____________________________________
Photo from We Heart It